JAKARTA, LiputanKawanua.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah masalah dalam pelaksanaan prorgam kartu prakerja.

Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata di gedung KPK Jakarta, Kamis (18/6/2020). “Kami menemukan sejumlah permasalahan dalam empat aspek terkait tata laksana (program kartu prakerja),” ungkapnya.

Namun begitu, komisi antirasuah ini hanya memberikan rekomendasi kepada pelaksana kartu prakerja, tanpa mengungkap temuan delik hukum mengingat program itu telah berjalan. “Pemerintah perlu melakukan perbaikan dalam implementasi program tersebut,” sambungnya.

KPK memaparkan, sejumlah temuan sekaligus dengan rekomendasi masing-masing terkait pelaksanaan program yang memakan anggaran Rp 20 triliun tersebut. Pertama, terkait proses pendaftaran.

Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan BPJS Ketenagakerjaan telah mendata pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja dan sudah dipadankan dengan nomor induk kependudukan (NIK). Sebanyak 1,7 juta orang pekerja terdampak masuk ‘whitelist’. Faktanya, hanya sebagian kecil dari whitelist tersebut yang mendaftar secara daring, yaitu hanya 143 ribu orang. Sedangkan, peserta yang mendaftar untuk 3 gelombang, yaitu 9,4 juta orang, bukanlah target program tersebut.

“Rekomendasi pertama, peserta yang disasar pada whitelist, tidak perlu mendaftar daring melainkan dihubungi manajemen pelaksana sebagai peserta program,” kata Alexander.

Masalah kedua, manajemen pelaksana kartu prakerja menggunakan fitur face recognation untuk kepentingan pengenalan peserta dengan anggaran Rp 30,8 miliar. KPK menilai itu sangat tidak efisien. KPK merekomendasikan agar cukup menggunakan NIK sehingga tidak perlu fitur lain yang mengakibatkan penambahan biaya.

Selanjutnya, kerja sama program prakerja dengan delapan platform digital tidak melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah. Kedelapan platform digital itu adalah Tokopedia, Bukalapak, Pijar Mahir, Sekolah.mu, Pintaria, Skill Academy, MauBelajarApa, dan Kementerian Tenaga Kerja.

KPK juga menemukan adanya konflik kepentingan antara lima dari delapan platform digital dengan lembaga penyedia pelatihan. Kelimanya adalah Skill Akademy (Ruangguru); Pintaria (HarukaEdu), Sekolahmu, MauBelajarApa.com, dan Pijar Mahir.

Sebanyak 250 dari 1.895 pelatihan dinilai bermasalah karena lembaga pelatihan juga merupakan platform digital atau kolaborator dalam program kartu prakerja. “Dengan demikian, 250 pelatihan yang terindikasi harus dihentikan penyediaannya,” tegas Alexander.

KPK menemukan, pelatihan yang memenuhi syarat hanya 13 persen dari 1.895 pelatihan yang tersedia. “Dari 1.895 pelatihan, kita ambil contoh 327 pelatihan secara acak, lalu kita cek di internet ada tidak yang menyediakan secara gratis? Ternyata 89 persen ada! Nama dan kontennya saja yang berbeda, jadi hanya 11 pesen dari pelatihan yang benar-benar pantas dibayar atau hanya sekitar 200 pelatihan,” kata Pahala.

KPK merekomendasikan agar penentuan kelayakan materi melibatkan pihak yang kompeten serta dituangkan dalam bentuk petunjuk teknis. Kemudian, KPK materi yang teridentifikasi gratis harus dikeluarkan dari daftar pelatihan. Terakhir, pelaksanaan pelatihan daring harus memiliki mekanisme kontrol agar tidak fiktif, misalnya pelatihan harus interaktif sehingga bisa menjamin peserta yang mengikuti pelatihan mengikuti keseluruhan paket.

Tenaga Ahli Kedeputian III KSP, Panji Winentya Ruki menjelaskan terkait temuan KPK tersebut. Menurut dia, kesiapan memberikan jasa platform digital untuk pelatihan keterampilan daring maupun offline sesuai dengan Permenko tentang Prakerja. Selain itu, dalam kajiannya, KPK lupa menyebut bahwa yang melakukan kurasi final dan menetapkan lembaga pelatihan adalah Manajemen Pelaksana.  “Negara hadir di situ,” tegasnya.

Sumber: Antara
Editor: Terry Wagiu