MANADO,- Arus penolakan terhadap penerapan skema ‘power wheeling’ di tubuh Perusahaan Listrik Negara (PLN), kian kencang.

Pemberlakuan ‘regulasi’ ini dinilai bakal merugikan pihak PLN serta berpotensi menggerogoti APBN.

Sebelumnya, protes terhadap pemberlakuan skema power wheeling ini datang dari DPD Serikat Pekerja (SP) PLN Suluttenggo. Hal itu dinilai akan membebani negara.

Sikap tegas DPD SP PLN Suluttenggo ini, berbuntut apresiasi. Seperti disampaikan mantan Manager PLN UP3 Manado, Frans Lisi. Kepada liputankawanua. com, Minggu (26/11/23), Lisi menyambut positif sikap SP PLN Suluttenggo ini.

Dia menjelaskan, ‘power wheeling’ itu merupakan sebuah sistem kelistrikan liberal. Dimana, jaringan transmisi dan distribusi PLN akan dipakai bersama oleh perusahaan listrik swasta.

Ia pun mencontohkan untuk wilayah Jawa-Bali. Pada akhirnya, kelistrikan pada kawasan tersebut yang semula dikelola oleh PLN secara Verticaly Integrated System’ akan berubah menjadi MBMS atau Multy Buyer and Multy Seller System. Jadi, tidak ada lagi peran Pemerintah atau PLN.

“Mekanismenya diserahkan ke pasar bebas. Posisi jaringan transmisi dan distribusi PLN disewa oleh listrik swasta yang ada. Sedangkan, PLN P3B (Pusat Pengatur dan Pembagi Beban) di Cinere, Jakarta Selatan berubah menjadi lembaga Independent ‘Power Purchase Pool’ dengan tugas pengatur system dan pengatur pasar,” terang Lisi.

Baca Juga: DPD SP PLN Suluttenggo Tolak Penerapan ‘Power Wheeling’, Ini Penjelasan Susanto-Taulu

Pun begitu, Lisi secara gamblang menerangkan kelebihannya. “Listrik yang dibangkitkan oleh siapa saja, bisa disalurkan dan di jual ke siapa saja dengan metode sewa jaringan. Pengaturan harga sewa jaringan ditetapkan oleh regulasi pasar. Demikian juga pengaturan harga jual listiknya atau HPP berdasarkan merit order, atau siapa yang termurah itu yang dibeli,” paparnya.

Sementara untuk kelemahannya, ungkap Lisi, belum tentu yang terbersih yang dibeli PLN, karena banyak persyaratan.

“Tadinya yang termurah jadi mahal karena biaya operasional. Contoh PLTA. Jadi mahal karena regulasi SDA mewajibkan untuk membayar pajak air dan pemeliharaan penanggulangan lingkungan hidup, casement area dan sebagainya. Sehingga bisa kalah dalam merit order atau kalah dari misalnya PLTU yang harganya semakin murah 4c$/kWh tapi polusi,” bebernya.

“Kalau kontrolnya bagus tidak masalah. Tapi jika jatuh ke tangan liberal koruptif apalagi kalau ada campur tangan dari penguasa (oligarkhi), akan berbahaya. Sebab, bisa lebih merusak lingkungan,” sambung dia.

Kemudian, ada inisiasi pembangkit rumah yang mandiri (Roftop). “Maka, harga eksport-import kWh antara rumah tinggal dgn PLN akan ada biaya tambahan ke konsumen (Rumah tinggal), sehingga tidak ada keseimbangan antara harga export dan import kWh,” jelas dia.

Baca Juga: Adero Jasa Setia ‘Serang’ PLN Suluttenggo, Ini Klarifikasi Pangalila

Untuk itu, Lisi bilang, sangat tepat DPD SP PLN Sulutenggo menolak UU power wheeling itu. Ya, itu untuk menyelamatkan masa depan PLN,” pungkasnya.

Diketahui sebelumnya, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) SP PLN Sulawesi Utara, Tengah dan Gorontalo (Suluttenggo) sepakat menolak rencana penerapan power wheeling di tubuh PLN.

“Itu artinya, PLN tidak menjadi single multiple buyer, karena dengan skema itu bisa langsung menjual listrik ke konsumen,” sebut Ketua DPD SP PLN Suluttenggo, Joko Susanto didampingi Sekretaris Valentino Ai Taulu kepada liputankawanua.com, Jumat malam.

Susanto bilang, penerapannya berpotensi melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 33 Ayat 2.

“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” tegas pemilik klub bola voli ternama di bumi Nyiur Melambai tersebut.

“Dampak dari power wheeling seperti pemborosan APBN, melonjaknya oversupply pembangkit PLN, kenaikan tarif dasar listrik menjadi lebih mahal dan menghambat pertumbuhan ekonomi rakyat kecil serta menjadikan masyarakat sebagai pasar bagi produk oligarki,” sambung Taulu.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) berencana membuka skema ‘power wheeling’ dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang diserahkan ke DPR untuk dibahas. Namun, pemerintah mencabutnya dari DIM.(*)