MANADO, — Terkait hasil Sidang Majelis Sinode Istimewa (SMSI) Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) Tahun 2021 yang dilaksanakan secara virtual menjadi masalah baru dalam pelayanan Gereja terbesar di Sulawesi Utara itu.
Beberapa poin Tata Gereja GMIM tahun 2021 yang ditetapkan dalam SMSI ke-80, di Desa Leilem Sonder, Kabupaten Minahasa, Senin (29/3/2021) malam, yang dipimpin Ketua BPMS GMIM Pdt. DR. Hein Arina terkesan tidak mendukung pelayanan. Bahkan, sidang itu menghasilkan beberapa keputusan yang dinilai mengebiri semangat pelayanan para Komisi Pemuda dan Remaja GMIM.
Bagaimana tidak, beberapa poin seperti ketua-ketua Komisi P/KB, WKI, Pemuda, Remaja dan Anak (BIPRA) tidak lagi menjadi ex-officio di semua aras tetapi dapat dipilih untuk posisi dalam BPMJ, BPMW dan BPMS. Hal itu dipastikan akan membatasi keterlibatan jemaat dalam pelayanan Gereja.
Artinya, pemuda GMIM yang penuh semangat obor pembangunan, serta remaja GMIM yang selalu kreatif dalam pelayanan Gereja tidak akan lagi dilibatkan langsung dalam pengambilan keputusan.
Hal tersebut pun mendapat tanggapan keras dari Ketua Komisi Pelayanan Remaja Sinode (KPRS) GMIM, dr Michaela Elsiana Paruntu MARS. “Ya, ini menurut saya adalah konsep yang keliru. Karena, kita sebagai pembawa aspirasi dari adik-adik remaja tidak bisa lagi terlibat dalam pengambilan keputusan pelayanan Sinode,” ungkap Micha (sapaan akrab Paruntu), kepada wartawan media ini, Selasa (30/3/2021).
“Keputusan ini sangat disayangkan. Namun, sebagai Komisi Remaja, kami akan terus berusaha memberikan yang terbaik untuk pelayanan. Mudah-mudahan semangat pelayanan remaja dari tingkat sinode hingga jemaat tidak akan berkurang dengan keputusan ini,” tukasnya.
Sementara, Ketua Komisi Pelayanan Pemuda Sinode GMIM (KPPSG), Pnt Pricillia Tangel melalui Bendahara Cindy MM Rantung MH menilai, keputusan terkait Bipra yang tidak lagi ex officio ini membuat partisipatif terhadap Gereja terbatas. “Karena, keleluasaan untuk menggumuli pelayanan kategorial dan pelayana secara menyeluruh di tingkatan badan pekerja sudah tidak ada lagi,” tegasnya.
“Dalam hal ini, pemuda di rugikan. Memang kita bisa di pilih lebih dari dua periode, tapi pemuda punya batasan usia 17 sampai 30 Tahun 365 hari. Sedangkan kita dalam pelayanan pemuda bersifat kaderisasi, kenapa harus pilih orang yang sama,” ungkapnya.
Menurutnya, ide dan gagasan pemuda seperti tidak lagi dibutuhkan dalam pelayanan. “Karena pemuda juga adalah bagian dari partisipatif dan perspektif pelayanan. Kedepan untuk pengambilan keputusan pasti akan didominasi oleh para Pendeta. Pemuda tidak lagi diberikan hak lebih memberikan masukan dalam pengambilan keputusan,” bebernya.
Meski begitu, kata dia, semangat Pemuda adalah obor pembangunan tidak akan padam untuk membangunan pelayanan. “Kami akan terus ada dalam pelayanan, dan akan selalu memberi diri. Ini semua untuk kemuliaan nama Tuhan,” pungkas Cindy.
Diketahui, SMSI berlangsung virtual dipandu dari GMIM Imanuel Leilem Wilayah Sonder ini, menerima konsep perubahan Tata Gereja yang telah disosialisasikan sebelumnya.
Dalam pembahasan saat pleno, sejumlah masukan disampaikan peserta sidang yang diikuti 57 kelompok persidangan. Setiap kelompok persidangan diberi kesempatan untuk dua orang pembicara. Sidang pleno kemudian dilanjutkan dengan pemungutan suara untuk tiga poin yakni:
- Menerima atau tidak menerima konsep perubahan Tata Gereja (di luar poin tentang BIPRA dan penyebutan Diaken),
- Menerima/tidak ketua-ketua Komisi P/KB, WKI, Pemuda, Remaja dan Anak (BIPRA) tidak lagi menjadi ex-officio di semua aras tetapi dapat dipilih untuk posisi dalam BPMJ, BPMW dan BPMS.
- Perubahan penyebutan syamas menjadi Diaken.
Pada poin pertama, jumlah suara setuju sebanyak 1.586, tidak setuju sebanyak 21 suara. Poin kedua, disetujui 1.284, tidak setuju 321 suara. poin ketiga, disetujui 1.058, tidak setuju 545. Perolehan suara ini berarti menerima konsep perubahan yang diusulkan.
Penulis: Terry Wagiu