JAKARTA,- Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) memutuskan untuk mengubah format debat calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Model ini berbeda dengan gelaran Pilpres 2019.
Lima kali debat Pilpres 2024 terdiri atas tiga kali debat antar calon presiden (Capres) dan dua kali antar Cawapres. Semuanya akan dihadiri secara bersamaan oleh pasangan Capres-Cawapres.
Tidak ada putaran debat secara terpisah yang khusus hanya dihadiri Capres atau Cawapres seperti pada Pilpres 2019.
“Dalam lima kali debat itu, pasangan Capres-Cawapres selalu hadir bersamaan, hanya porsi berbicara yang dibedakan, tergantung sesi debat Pilpres yang sedang berlangsung, apakah debat Capres atau debat Cawapres,” sebut Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute melalui siaran pers SETARA Institute tertanggal 2 Desember 2023.
Pada acara debat Pilpres 2019, debat diawali dengan sesi pasangan Capres lengkap. Lalu pada tiga sesi berikutnya, debat Capres hanya dihadiri oleh Capres dan sesi debat Cawapres hanya dihadiri oleh Cawapres. Pada sesi pamungkas, debat Pilpres diikuti pasangan Capres-Cawapres.
“Format debat Pilpres 2024 jelas merupakan kemunduran. Dari sisi hak konstitusional warga negara, publik dirugikan karena mereka tidak diberikan ruang untuk mendapatkan referensi yang memadai tentang figur kepemimpinan otentik pada masing-masing kandidat pemimpin, baik Capres maupun Cawapres, sebelum rakyat menentukan pilihannya di bilik suara pada 14 Februari 2024,” tandas SETARA Institute.
Yang lebih serius lagi, KPU semakin menebalkan kecurigaan publik bahwa patut diduga KPU tunduk pada intervensi kekuatan politik eksternal mereka. Kecurigaan demikian rasional, sebab keputusan KPU hadir di tengah beberapa konteks yang sangat kasat mata.
“Pertama, Putusan MK 90/2023 yang memberikan jalan bagi anak Presiden sekaligus keponakan Ketua MK saat itu, Gibran Rakabuming Raka, untuk melenggang sebagai Calon Wakil Presiden bagi Calon Presiden Prabowo Subianto. Sebagaimana diketahui bersama, secara substantif maupun prosedural Putusan tersebut bermasalah dan, dalam berbagai pernyataan publik, SETARA menyebutnya sebagai kejahatan konstitusional atau constitutional evil,” bunyi siaran pers tersebut.
Kedua, putusan MK yang pada pokoknya menegaskan bahwa secara kelembagaan MK “terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023”, melalui Ketua MK yang sudah diberhentikan, yaitu Anwar Usman, ipar Presiden sekaligus Paman Cawapres Gibran.
Ketiga, pernyataan publik Ketua KPK Periode 2015-2019, Agus Rahardjo bahwa saat KPK mengungkap kasus korupsi E-KTP dan menetapkan Ketua DPR RI saat itu, Setya Novanto, sebagai tersangka, Presiden Jokowi marah dan meminta KPK untuk menghentikan pengungkapan kasus korupsi E-KTP. KPK dalam kenyataannya menolak permintaan Presiden. Pernyataan Agus dibenarkan oleh Wakil Ketua KPK saat itu, Alexander Marwata.
“Konteks tersebut tentu menguatkan kecurigaan publik bahwa terdapat kekuatan politik yang mengarah pada Istana Negara yang kerapkali menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi lembaga-lembaga negara lainnya.”
KPU, menurut SETARA Institute, seharusnya menimbang sentimen publik terkait kepercayaan mereka pada penyelenggaraan Pemilu sebagai ‘pertaruhan terakhir’ kelembagaan demokrasi, yang semakin surut (regressive) dan mengarah pada otoriterisme (leading to authoritarianism).
Namun, dengan keputusan mengenai format debat Pilpres 2024, KPU telah menebalkan kecurigaan publik mengenai intervensi kekuasaan eksternal atas KPU. Sikap publik yang mencurigai keputusan KPU menguntungkan salah satu Cawapres, yang gagasan dan kepemimpinan otentiknya sedang dinanti publik dalam debat Pilpres 2024, merupakan kecurigaan yang masuk akal. Dalam konteks itu, KPU telah mempertaruhkan kredibilitas penyelenggaraan Pemilu sebagai salah satu pilar utama demokrasi.(*)