Gambar Tomohon

Tomohon,- Tingkat kerawanan sosial dan bencana di Kota Tomohon, seperti di Kecamatan Tomohon Utara terbilang cukup tinggi.

Dari data yang ada, kasus kriminal di Tomohon Utara pada Tahun 2023 mencapai 158, dan sepanjang 2024 ada 127 kasus. Begitu pun kejadian bencana. Tercatat, ada 23 kejadian di Tahun 2023, dan di Tahun 2024 34 kali.

Terkait hal itu, Camat Tomohon Utara, Rickyanto Untung Supit SE, mengatakan, pihaknya sementara merancang program Camat Sinergis-Masyarakat Aman & Tanggap (CS-Mantap).

Inovasi itu, kata dia untuk optimalisasi fungsi koordinasi lintas sektor, dalam deteksi dini kerawanan sosial dan kesiapsiagaan bencana.

“Memang, Tomohon Utara adalah wilayah dengan dinamika sosial dan potensi kebencanaan yang cukup tinggi,” ungkap Rickyanto kepada Wartawan, Selasa (7/10/2025) di Kantor Walikota Tomohon.

Dikatakan, kondisi geografis yang berada di sekitar kawasan rawan bencana, serta keragaman sosial masyarakat, menghadirkan tantangan tersendiri bagi pemerintah kecamatan dalam menjaga stabilitas keamanan, ketertiban, dan keselamatan masyarakat.

“Saat ini, deteksi dini kerawanan sosial dan bencana masih bersifat sektoral, sporadis, serta belum terintegrasi secara optimal,” ucapnya.

Ia mengakui, fragmentasi peran antar instansi, seperti kecamatan, kelurahan, BPBD, Kepolisian Sektor, Koramil, serta stakeholder lainnya, mengakibatkan lemahnya koordinasi lintas sektor.

Itu, kata dia, diperburuk dengan keterbatasan sistem informasi yang masih manual, minim dokumentasi, serta rendahnya partisipasi masyarakat yang cenderung reaktif menunggu intervensi pemerintah ketika masalah sudah terjadi.

“Kondisi tersebut menyebabkan penanganan potensi konflik sosial maupun ancaman bencana berjalan lambat. Sehingga, risiko yang muncul dapat berdampak serius, baik dari sisi korban jiwa, kerugian materi, maupun kerusakan infrastruktur,” tutur mantan Lurah Kakaskasen Satu itu.

Di samping itu, Ricky menerangkan, keterlambatan penanganan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah karena dianggap kurang sigap dan peduli.

“Nah, dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, Camat memiliki fungsi strategis sebagai simpul koordinasi lintas sektor di wilayah,” ungkapnya.

Namun, ia melanjutkan, kapasitas aparatur kecamatan dalam menjalankan peran koordinatif ini masih terbatas. Baik dari aspek kompetensi maupun dukungan sistem informasi.

“Oleh karena itu, diperlukan sebuah terobosan yang mampu mengoptimalkan fungsi koordinasi lintas sektor, sekaligus memperkuat keterlibatan masyarakat dalam sistem deteksi dini,” beber Ricky.

Kerawanan sosial di tingkat kecamatan dan kelurahan umumnya muncul dari dinamika kehidupan masyarakat sehari-hari.

“Masalah keamanan seperti penyalahgunaan minuman keras, narkoba, pencurian, hingga perkelahian antar pemuda seringkali menjadi sumber keresahan warga,” ucapnya.

Selanjutnya, dari sisi ekonomi, pengangguran, kesenjangan, dan perselisihan terkait lahan atau warisan kerap memicu konflik antar warga.

“Sementara itu, perbedaan latar belakang budaya, agama, maupun kelompok sosial kadang menimbulkan gesekan, terutama saat berlangsung acara besar di masyarakat,” terangnya.

Tak jarang juga, Ricky berpendapat, pasca bencana alam seperti banjir atau longsor, timbul kerawanan baru berupa kecemburuan sosial, persaingan dalam akses bantuan, hingga masalah di lokasi pengungsian.

Selain itu, dia bilang, perilaku remaja seperti balapan liar atau tawuran juga kerap mengganggu ketenteraman lingkungan

“Berbagai bentuk kerawanan ini menunjukkan perlunya deteksi dini yang efektif, koordinasi lintas sektor, serta pemberdayaan masyarakat agar potensi konflik dapat dicegah dan keamanan sosial tetap terjaga,” jelas Ricky.

Dikatakan, kesiapsiagaan bencana di tingkat kelurahan dan kecamatan merupakan upaya sistematis yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan untuk mengantisipasi serta mengurangi dampak bencana sebelum terjadi.

“Pada level kelurahan, kesiapsiagaan diwujudkan melalui pembentukan relawan siaga bencana, penyediaan titik kumpul aman, sosialisasi jalur evakuasi, hingga latihan simulasi berbasis komunitas,” urainya.

Masyarakat, kata dia, menjadi garda terdepan. Karena, merekalah yang pertama merasakan dampak bencana dan dapat melakukan respon awal sebelum bantuan eksternal datang. Di tingkat kecamatan, Camat berperan penting sebagai simpul koordinasi lintas sektor.

“Kesiapsiagaan dilakukan dengan menyusun rencana yang baik, mengintegrasikan data risiko bencana bersama BPBD, TNI/Polri, dan di 10 Kelurahan. Serta memastikan sistem komunikasi darurat berjalan efektif,” terang Rickyanto.

Di sisi lain, Camat melanjutkan, kecamatan juga memfasilitasi edukasi publik dan mengkoordinasikan sumber daya, baik logistik maupun personel, agar penanganan bencana lebih cepat, terarah, dan terukur.

“Dengan sinergi Kelurahan dan Kecamatan, kesiapsiagaan bencana tidak hanya membangun kecepatan respon, tetapi menumbuhkan rasa aman dan tanggung jawab kolektif di masyarakat,” curainya.

Langkah ini, Ricky katakan, sekaligus memperkuat ketangguhan lokal, sehingga setiap warga mampu menjadi bagian dari solusi dalam menghadapi ancaman bencana.

“Untuk menjawab tantangan tersebut, dirancanglah Aksi Perubahan CS-MANTAP. Program ini menitikberatkan pada penguatan peran Camat sebagai motor penggerak Sinergi Koordinasi Lintas Sektor, serta Pemberdayaan Masyarakat melalui sistem deteksi dini partisipatif berbasis kolaborasi baik pemerintah, masyarakat, dan swasta,” tuturnya.

Melalui implementasi CS-MANTAP, Ricky berharap, tercipta mekanisme koordinasi yang efektif, terstruktur, dan berkelanjutan dalam mencegah serta mengantisipasi kerawanan sosial dan bencana sejak dini.

“Dengan demikian, ini tidak hanya memperkuat kapasitas kelembagaan kecamatan. Tetapi, berkontribusi langsung pada peningkatan rasa aman, kesiapsiagaan masyarakat, serta kinerja pemerintahan daerah secara keseluruhan,” pungkasnya.